Beranda | Artikel
Jangan Jadikan Khutbah Jumat Jadi Kuliah Umum dan Tempat Cerita
Kamis, 3 April 2014

Jangan Jadikan Khutbah Jumat Jadi Kuliah Umum dan Tempat Cerita

Sebagian jamaah mengeluh dengan beberapa (sedikit) khatib jumat yang kelihatannya asal maju saja jadi khatib. Mentang-mentang gelarnya Master, Doktor atau professor, sudah berani maju untuk jadi kahtib, padahal baru belajar agama seadanya saja, baru-baru rajin ke masjid. Sebagaimana ilmu yang lain seperti kedokteran, fisika, tehnik, maka agama juga perlu belajar dengan waktu yang lama dan tentunya belajar dengan kurikulum, sistematis (belajar secara ta’shiliy).

Karena khatib “karbitan” ini Jadilah kesannya khutbah jumat itu:

-membosankan

-paling enak buat tidur

-materinya melenceng ke materi dunia, politik atau sekedar cerita-cerita

 

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

وبعض الخطباء يقحم في الخطبة مواضيع لا تتناسب مع موضوعها , وليس من الحكمة ذكرها في هذا المقام , وقد لا يفهمها غالب الحضور , لأنها أرفع من مستواهم , فيدخلون فيها المواضيع الصحفية والأوضاع السياسية وسرد المجريات التي لا يستفيد منها الحاضرون

“Sebagian khatib memasukkan dalam khutbah, tema-tema yang tidak sesuai dengan tempatnya. Bukanlah hikmah membahasanya pada khutbah. Terkadang tidak dipahami oleh sebagian besar hadirin karena materinya yang terlalu “tinggi”. Mereka memasukkan materi-materi berita, politik dan bercerita mengenai kejadian-kejadian, yng ini tidak bermanfaat bagi hadirin.”[1]

 

Banyak khatib “karbitan”

Ini yang tidak kita harapkan bersama yaitu khatib itu asal-asalan jadi, sehingga kesan muslim bahwa Jumatan itu sekedar formalitas saja, malu yang lain pada jumatan tapi saya tidak. Padahal Shalat Jumat adalah pembangkit keimanan minimal satu minggu sekali, diri mendapat siraman rohani dan pembangkit semangat serta keimanan.

Khatib-khatib “karbitan” (baik khatib jumat ataupun penceramah diberbagai tempat) seperti ini yang disebut sebagai “ruwaidhah”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas,”[2]

 

Khatib menjiwai dan menguasai materi khutbah

Para Khathib hendanya menguasai dan menjiwai khutbahnya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata,”Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan mengatakan:’ Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi’, ‘Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore’.”[3]

Dan hendaknya berkata dengan jelas dan dipahami

Dalam riwayat lain

وَلَكِنَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِكَلاَمٍ بَيِّنٍ فَصْلٍ, يَحْفَظُهُ مَنْ جَلَسَ إِلَيْهِ

Tetapi Beliau berbicara dengan pembicaraan yang terang, jelas, orang yang duduk bersama Beliau dapat menghafalnya.”[4]

 

Khutbah yang ringkas menunjukkan khatib itu berilmu

Sebaiknya Khutbah hendaknya pendek dan tidak betele-tele, shalatnya lebih panjang, namun keduanya itu sedang-sedang saja.

قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا

“Abu Wa’il berkata: ’Ammar berkhutbah kepada kami dengan ringkas dan jelas. Ketika dia turun, kami berkata,”Hai, Abul Yaqzhan (panggilan Ammar). Engkau telah berkhutbah dengan ringkas dan jelas, seandainya engkau panjangkan sedikit!” Dia menjawab,”Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya panjang shalat seseorang, dan pendek khutbahnya merupakan tanda kefahamannya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah! Dan sesungguhnya diantaranya penjelasan merupakan sihir’.”[5]

 

Demikian semoga bermanfaat

@Pogung Dalangan,  Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 


[1] Mulakhos fqhiyyah, Bab shalatul jumu’ah, syaikh Shalih Al-Fauzan

[2] HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah 1887

[3] HR Muslim, no. 867

[4] HR Tirmidzi di dalam Asy Syamail, no. 191

[5] HR Muslim, no. 869


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/jangan-jadikan-khutbah-jumat-jadi-kuliah-umum-dan-tempat-cerita.html